Kamis, 31 Desember 2009

Resensi Namaku Hiroko

Namaku Hiroko

NH Dini

Hiroko, yang seharusnya menjadi nama belakang seorang gadis, dijadikan nama depan oleh si empunya. Ayah Hiroko menanggung beban pekerjaan di ladang sendirian. Ibu tirinya bahkan jauh lebih baik dan perhatian daripada ibu kandungnya yang telah tiada, sedangkan kedua adik lelakinya cerewet dan hanya memikirkan diri sendiri. Hiroko tidak melanjutkan sekolah setelah SMA karena malas dan merasa otaknya kurang encer untuk kuliah.

Hiroko menjalani kehidupan di desa dan mematuhi segala adat karena merasa itulah yang harus dilakukannya. Suatu ketika seorang tengkulak menawari sang ayah mempekerjakan Hiroko sebagai pembantu rumah tangga di kota. Sejak itu hidupnya berubah. Ia melihat kebiasaan wanita-wanita di kota, perbincangan para pembantu, sampai kemudian harus kembali membantu ayahnya di desa. Adik Hiroko sakit dan ibu tirinya hamil lagi.

Tomiko, teman Hiroko yang pandai bergaul dan tampil mempesona, berhasil meyakinkan ayahnya untuk mengizinkan Hiroko ke kota dan bekerja lagi. Selain berganti pekerjaan mulai dari pembantu, pegawai toko, sampai menjadi model sekaligus penari telanjang di kabaret, Hiroko mengenal pria dan hubungan intim orang dewasa. Bahkan gadis desa yang semula polos ini berubah menjadi wanita ambisius dan mementingkan penampilan.

Melalui novel ke-4nya ini, NH Dini menggambarkan ganasnya kota di Jepang tahun 70-an, tempat para lelaki berhubungan dengan orang lain sesuka hati. Kehidupan malam membawa pengaruh kurang baik terhadap pendatang baru seperti Hiroko.

Bahasa yang digunakan ringan dan mudah dicerna oleh pelajar SMA tetapi gaya tuturnya serius sehingga kurang nikmat. Penokohan pria pun kurang bervariasi. Semua dikisahkan sebagai lelaki hidung belang. Membaca buku ini memerlukan penghayatan agar nilai-nilai di dalamnya tersampaikan. Secara keseluruhan, novel Namaku Hiroko adalah karya sastra yang baik untuk dibaca kalangan remaja dan dewasa di Indonesia.